Dari Antrean Ayah ke Dasbor Desa:
Optimalisasi "Smart Village"
untuk Birokrasi yang Melayani
Oleh: Ahmad Ratib Asraf Triputra
“Ask not what
your country can do for you , ask what you can do for your country.” - John
F. Kennedy
Kutipan
monumental dari John F. Kennedy tersebut telah lama menjadi kompas moral bagi
saya. Namun, ironi dari semangat memberi itu terpampang nyata di hadapan saya
pada suatu siang yang terik. Saya melihat ayah saya, seorang petani, berdiri
dalam barisan panjang di kantor layanan publik. Tangannya yang legam oleh tanah
memegang slip bukti pembayaran, simbol kontribusinya. Untuk menunaikan
kewajiban, ia harus mengorbankan waktu produktif di ladang, menempuh jarak yang
tidak sedikit, dan berjuang melawan sistem yang lamban. Momen itu melahirkan
sebuah keprihatinan. Keresahan saya bukan tanpa dasar. Pengalaman ayah saya
adalah cerminan dari masalah nasional.
Data dari Ombudsman RI pada tahun 2023 menunjukkan bahwa substansi laporan
masyarakat terkait pelayanan publik paling banyak adalah mengenai penundaan
berlarut (37,6%) dan prosedur yang berbelit-belit (24,6%). Bagi masyarakat
desa seperti kami, masalah ini diperparah dengan biaya transportasi dan
hilangnya pendapatan harian. Inilah yang memunculkan pertanyaan dalam benak
saya: Apakah tidak ada cara yang lebih bermartabat untuk berkontribusi? Apakah
wajah birokrasi ini tidak bisa direformasi menjadi lebih ramah dan efisien,
bahkan bagi petani di desa terpencil? Pertanyaan itu membentuk karakter saya
untuk tidak sekadar mengeluh, tetapi bertekad mencari solusi.
Lahir dan
besar di desa Bina Bumi, sebuah desa yang ada di Kabupaten Tulang Bawang,
Provinsi Lampung, saya adalah saksi hidup dari kesenjangan informasi dan akses
antara masyarkat di desa dan di perkotaan. Saya melihat potensi besar di
kampung halaman saya, namun juga melihat bagaimana potensi itu seringkali
terhambat oleh tembok birokrasi yang jauh dan rumit. Mimpi saya sederhana namun
kokoh, menjadi contoh nyata dari perubahan yang saya dambakan, terutama dalam
tata kelola pemerintahan. Saya tidak ingin menjadi pemuda desa yang pasrah pada
keadaan. Sebaliknya, saya ingin menjadi agen perubahan yang proaktif. Keyakinan
inilah yang memantapkan langkah saya untuk memilih jurusan Ilmu Pemerintahan.
Ini bukan sekadar pilihan karier, melainkan sebuah keputusan strategis yang
lahir dari sebuah kegelisahan personal. Saya percaya, untuk bisa memperbaiki
sebuah sistem, saya harus terlebih dahulu memahaminya secara mendalam, mempelajari
strukturnya, menganalisis kelemahannya, dan mengidentifikasi peluang untuk
inovasi.
Fondasi dari
keyakinan saya terhadap perubahan, terutama melalui digitalisasi, mulai
terbentuk kuat selama masa SMA. Ketika diamanahkan menjadi Ketua OSIS di SMA
Negeri 1 Meraksa Aji, saya dihadapkan pada sebuah organisasi yang dianggap
eksklusif, serta kegiatannya kurang diketahui siswa lain. Saya melihat peluang
pada teknologi digital. Kami
meluncurkan akun media sosial resmi OSIS yang bernama OSIS SMANSAMAJI, membuat
unggahan digital rutin melalui Instagran. Hasilnya, OSIS yang tadinya berjarak,
kini menjadi milik bersama dan menjadi anggota OSIS adalah sebuah kebanggan
untuk berkontribusi terhadap kemajuan
sekolah. Puncaknya adalah saat kami ditugaskan membantu promosi penerimaan
siswa baru. Kami tidak hanya menggunakan metode konvensional seperti kunjungan
ke SMP/MTs terdekat di sekitar kecamatan kami, tetapi kami juga membuat sebuah
video tur sekolah, mengadakan sesi tanya jawab langsung dengan alumni. Inovasi
ini berbuah manis, sekolah kami berhasil mendapatkan 118 siswa dan membuka empat kelas baru untuk angkatan tersebut,
sebuah rekor dalam sejarah sekolah. Sebelumnya, SMA Negeri 1 Meraksa Aji hanya
memperoleh 84 siswa. Pengalaman ini
mengajari saya bahwa digitalisasi bukan
hanya tentang teknologi, melainkan tentang membangun karakter keterbukaan,
partisipasi, dan jangkauan yang lebih luas.
Keyakinan itu
semakin mengakar saat memasuki bangku perkuliahan. Saya merasakan langsung
bagaimana digitalisasi telah mulai mereformasi birokrasi dalam skala personal.
Membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) kini dapat dilakukan melalui mobile
banking dari rumah, membebaskan dari antrean panjang di bank. Membuat Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP) secara daring melalu CORETAX . Hanya dalam hitungan
menit, NPWP yang sebelumnya harus dibuat secara konvensioal dengan datang
langsung ke kantor pajak, kini dapat dibuat dengan akses digital. Menghapuskan
citra kantor pajak yang dulu saya lihat sebagai tempat yang melelahkan. Bahkan,
saat mengerjakan tugas analisis kebijakan, saya dapat dengan mudah mengakses
dokumen keuangan negara melalui situs web resmi pemerintah seperti Portal Data
SIKD. Rangkaian pengalaman ini adalah bukti nyata dari potensi luar biasa
digitalisasi. Ia tidak hanya memangkas waktu dan biaya, tetapi secara
fundamental mengubah karakter interaksi antara warga dan negara dari yang
bersifat hierarkis dan rumit menjadi lebih setara, efisien, dan mandiri.
Setelah dua
semester di Ilmu Pemerintahan, pemahaman saya semakin tajam. Saya sadar,
kontribusi harus dimulai dari sekarang. Aksi nyata pertama saya adalah mengenalkan
berbagai aplikasi layanan publik kepada orang tua dan tetangga. Namun, saya
juga melakukan analisis lebih dalam terhadap desa saya sendiri. Saya menemukan
bahwa Desa Bina Bumi memang telah memiliki situs web berlabel "Smart
Village". Namun, setelah saya amati lebih jauh, situs tersebut cenderung bersifat informatif dan satu arah.
Fiturnya masih terbatas pada penyajian data wilayah, berita desa, dan status
IDM. Belum ada fitur layanan
transaksional yang interaktif yang bisa memangkas alur birokrasi secara
langsung, seperti pengajuan surat keterangan usaha, pembayaran PBB, atau wadah
pengaduan warga yang terstruktur. Inilah celah yang saya lihat: website
sudah ada, tetapi tingkat adopsi dan
fungsionalitasnya untuk pelayanan publik yang krusial masih minim. Di
sinilah saya ingin memaksimalkan potensi yang ada, bukan membangun dari nol. Di
samping itu, untuk memperluas jangkauan dan relasi, saya aktif bergabung dengan
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Di sana, saya tidak hanya
berorganisasi, tetapi juga berkontribusi di mana kami secara rutin membuat
konten edukasi yang menyederhanakan informasi mengenai program pemerintah untuk
disebarkan ke masyarakat luas. Aksi-aksi ini adalah wujud nyata dari karakter
yang ingin saya bangun, karakter yang menjembatani kesenjangan digital dan
memberdayakan komunitas.
Saat kembali ke almamater, SMA Negeri 1 Meraksa Aji, saya
dihadapkan pada sebuah kenyataan pahit. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2024,
hanya 17 dari 84 siswa yang melanjutkan langkahnya ke perguruan
tinggi. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan sebuah panggilan bagi
kami. Sebagai kakak tingkat yang telah lebih dulu merasakan dunia perkuliahan,
kami merasa terpanggil untuk bertindak. Kami sadar, ini bukan tentang
ketidakmampuan, melainkan tentang keraguan dan keterbatasan informasi. Berangkat
dari kegelisahan itu, saya dan rekan rekan alumnus menggagas sebuah gerakan
bernama SMANSAMAJI GOES TO COLLEGE (SGC). Ini adalah inisiatif dari
kami, untuk adik-adik kami, dengan tujuan membongkar tembok keraguan yang
selama ini menghalangi mereka. Kami membuka wawasan mengenai jalur masuk
perguruan tinggi, membagikan informasi beasiswa yang bisa mematahkan ketakutan
akan biaya, sebuah kekhawatiran besar bagi adik-adik kami yang sebagian besar
adalah anak petani serta menyajikan peta persebaran alumni sebagai bukti nyata
bahwa mereka tidak sendirian.
Gerakan ini berevolusi pada Januari 2025. Kami menjalin
kolaborasi strategis dengan rekan-rekan mahasiswa KKN dari Universitas Lampung
(UNILA) yang memiliki visi seirama. Kami tidak lagi hanya bergerak secara
konvensional dari kelas ke kelas, tetapi juga mengoptimalkan kekuatan media
sosial untuk menyebarkan informasi secara lebih masif dan menarik. Hasilnya
melampaui ekspektasi. Pada tahun 2025, jumlah siswa yang melanjutkan pendidikan
tinggi melonjak hampir dua kali lipat menjadi 35 dari 118 siswa. Angka
ini adalah buah dari kombinasi antara tekad yang membara, kolaborasi yang
solid, dan pemanfaatan teknologi secara cerdas. Ini adalah bukti kontribusi
nyata kami, sebagai mahasiswa dari desa, untuk memastikan pendidikan tinggi
dapat diakses oleh semua kalangan bahkan yang berasal dari desa.
Oleh karena
itu, rencana saya setelah menyelesaikan studi S1 Ilmu Pemerintahan sangat jelas
dan terukur. Saya akan kembali ke Lampung dan berkolaborasi dengan pemerintahan
desa Bina Bumi, yang merupakan garda terdepan pelayanan publik. Saya tidak
akan mengusulkan membuat sistem baru, melainkan mengadvokasi dan merancang
sebuah modul layanan terpadu sebagai bentuk konkret implementasi e-government di tingkat lokal.
Tujuannya adalah untuk menerjemahkan prinsip-prinsip tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance)
seperti transparansi, efisiensi, dan akuntabilitas ke dalam layanan nyata yang
akan diintegrasikan ke dalam web "Smart
Village" yang sudah ada. Visi jangka panjang saya adalah mengadvokasi
dan turut membantu pemerintah Kabupaten Tulang Bawang untuk merancang sebuah
sistem layanan terpadu berbasis aplikasi yang spesifik untuk kebutuhan
masyarakat di Kabupaten Tulang Bawang, memastikan bahwa efisiensi birokrasi
dapat dirasakan hingga ke tingkat desa.
Seperti yang
Professor Stella Christie katakan, “Beasiswa adalah investasi negara. Ini
adalah hutang yang harus dibayar dan akan ditagih”. Saya menyadari
betul bahwa beasiswa adalah investasi negara terhadap para pemuda – pemudi
terbaik yang diharapkan akan membantu kemajuan bangsa. Maka dari itu saya
bertekad menjadi bagian dari pemuda – pemudi yang ikut membangun bangsa. Saya
akan membayar hutang ke negara yang diberikan melalu beasiswa, bukan dengan
materi, tetapi dengan kontribusi sesuai dengan bidang ilmu dan keahlian yang
saya miliki.
Melalui
Beasiswa Unggulan yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan Dasar Dan
Menengah (Kemendasmen) ini, saya melihat sebuah pintu kesempatan yang terbuka
lebar. Beasiswa ini lebih dari sekadar bantuan finansial tetapi juga sebuah
akselerator, sebuah kepercayaan yang diberikan negara kepada pemuda-pemudi
terbaik untuk berkarya lebih besar. Bagi saya dan ribuan pemuda-pemudi lain
dari desa, beasiswa ini adalah jembatan untuk meraih pendidikan tinggi di
universitas impian yang sebelumnya takut bermimpi karena terhalang biaya.
Beasisswa ini juga akan membekali kami dengan kompetensi untuk pulang dan
membangun daerah kami masing-masing. Saya tidak lagi hanya berpikir tentang apa
yang negara berikan kepada saya melalui beasiswa ini. Sebaliknya, saya
melihatnya sebagai amanah untuk bisa memberikan kontribusi yang jauh lebih
besar bagi negara. Saya berkomitmen untuk menjadi bukti hidup bahwa seorang
anak petani yang pernah resah melihat antrean panjang, bisa menjadi bagian dari
solusi untuk menghapuskan antrean-antrean tersebut di seluruh pelosok negeri.
0 Comments